BBM SUBSIDI BAGI NELAYAN : Menjembatani Kebutuhan dan Realitas
Firmansyah, S.Pi (P3T Ahli Muda _ Dinas Perikanan Kab. Kolaka)
Kehidupan nelayan di negara kita utamanya nelayan skala kecil, tidak lepas dari stigma golongan masyarakat miskin yang termarginalkan. Dengan kondisi lingkungan yang Sebagian besar hidup pada wilayah pesisir dengan kondisi yang sering terlihat kumuh akibat kurang tertata dengan baik dan ditambah dengan lingkungan yang seringkali kotor karena banyaknya sampah-sampah plastik dan sebagainya yang berasal dari buangan rumah tangga karena masih banyak masyarakat yang belum sadar akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Padahal sampah-sampah plastik yang dibuang ke laut ini tidak akan dapat terurai dengan mudah, bahkan bertambah dari hari ke hari sehingga terkadang permukaan air di bawah rumah-rumah masyarakat yang pada umumnya tinggal di atas air tidak terlihat karena tertutup oleh tumpukan sampah-sampah plastik. Padahal pemerintah maupun berbagai organisasi sudah sering mengadakan sosialisasi tentang pentingnya menjaga kebersihan pantai dan laut maupun menggelar aksi bersih pantai namun seakan-akan aksi ini hanya bersifat seremoni yang efeknya belum terlihat secara signifikan.
Kita beralih dari persoalan sampah. Mari kita membahas persoalan lain yang saat ini juga memberikan tekanan bagi pelaku usaha perikanan khususnya yang berprofesi sebagai nelayan. Mari kita mengulas sedikit tentang salah satu persoalan yang selalu dikeluhkan oleh nelayan, yaitu BBM. Ya, BBM. Hal ini masih menjadi salah satu persoalan yang dihadapi oleh nelayan utamanya oleh nelayan kecil. Keberadaan BBM ini terkadang menjadi sesuatu barang yang "langka" bagi nelayan. Sering nelayan mengurangi trip mereka bahan hingga tidak turun melaut karena sulitnya mendapatkan BBM bersubsidi. BBM bersubsidi memang menjadi tumpuan bagi nelayan kecil karena dengan menggunakan BBM bersubsidi maka mereka bisa menekan biaya operasional yang mereka harus keluarkan. BBM bersubsidi ini menjadi buruan para nelayan karena mereka tau bahwa alokasi jenis BBM ini memang menjadi hak mereka sesuai dengan peraturan yang ada. Dan kalau pun mereka memperolehnya, jumlahnya tidak mencukup untuk mereka gunakan melakukan kegiatan penangkapan dan harus ditutupi dengan membeli BBM Non subsidi yang harganya tentu lebih mahal ketimbang yang bersubsidi baik itu Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) maupun Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP).
Kondisi seperti ini semakin intens di wilayah-wilayah yang juga menjadi sentra kegiatan pertambangan. Banyak nelayan yang mengeluh susah memperoleh BBM bersubdisi. Padahal, kuota BBM bersubsidi ini telah dilakukan perhitungan estimasi terhadap kebutuhannya sesuai dengan data nelayan yang berhak untuk memperolehnya namun masih saja ada nelayan yang tidak memperoleh BBM bersubsidi ini. Bahkan BPH-MIGAS sebagai badan yang ditunjuk oleh negara untuk mengatur dan mengawasi penyaluran BBM bersubsidi ini, aktif melakukan pengawasan terhadap lembaga-lembaga penyalur resmi namun masalah ini seakan belum dapat terselesaikan dengan baik. Adanya indikasi dugaan penyelewengan terhadap BBM ini memang kerap mencuat di masyarakat, apalagi di daerah-daerah yang merupakan sentra-sentra pertambangan yang mana banyak terdapat alat-alat berat yang membutuhkan BBM dalam jumlah besar namun dengan menggunakan solar industri tentunya harga yang diperoleh tentu lebih tinggi. Pada peraturan yang dikeluarkan oleh BPH-MIGAS, disebutkan bahwa di sektor Usaha Perikanan, khususnya nelayan yang berhak untuk menadapatkan BBM bersubsidi yaitu nelayan yang memiliki ukuran kapal paling besar hingga 30 GT untuk JBT dan paling besar hingga 5 GT untuk pengguna JBKP. Namun pada kenyataannya di lapangan, ada indikasi bahwa masih ada kapal-kapal nelayan yang secara real ukuran kapal mereka sudah lebih dari 30 GT, namun di dalam dokumen disebutkan bahwa ukuran kapal mereka masih di Bawah 30 GT. Hal ini tentunya sangat merugikan nelayan-nelayan kecil yang ukuran kapalnya ada di bawah 5 GT. Dimana seharusnya kuota BBM subsidi tersebut mereka yang mendapatkannya. Harusnya kapal-kapal yang memiliki ukuran di atas 30 GT ini menggunakan BBM yang dikhususkan untuk industri karena kapal-kapal di atas 30 GT dikategorikan sebagai usaha skala yang besar. Pemerintah sebenarnya telah mengetahui hal ini dalam hal ini oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun karena hingga saat ini kewenangan untuk pengukuran GT kapal masih dipegang oleh kementerian lain sehingga KKP tidak dapat mengintervensi hal tersebut. Olehnya itu, dengan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) dibuat regulasi dimana pengenaan PNBP tidak lagi berdasarkan ukuran GT kapal dimana sebelumnya kapal-kapal perikanan yang memiliki ukuran di atas 30 GT wajib izin pusat yang imbasnya ada kewajiban membayar PNBP, namun saat ini melihat operasi penangkapan ikan yang dilakukan jika sudah berada di atas 12 mill laut, maka usaha tersebut wajib membayar PNBP.
Kebijakan yang diambil ini tentu diharapkan akan memberikan dampak bagi usaha nelayan-nelayan kecil yang masih mendominasi kategori nelayan di Indonesia. semoga ke depannya, dengan mengatur nelayan-nelayan skala besar yang memiliki modal yang kuat dimana salah satunya kewenangan pengukuran GT kapal penangkap ikan bisa diambil alih oleh KKP, sehingga kuota BBM bersubsidi yang diperuntukkan bagi nelayan kecil dapat dinikmati oleh mereka dimana selama ini masih banyak digunakan oleh yang seharusnya sudah tidak berhak mendapatkannya.
Klarifikasi : Tulisan ini hanya berdasarkan pendapat pribadi penulis dan tidak sama sekali berupaya untuk mendiskreditkan salah satu pihak.
Komentar
Posting Komentar